UTAMAKAN KEWAJIBAN, PENGHARGAAN DATANG KEMUDIAN[1]
Oleh: Samsul Zakaria, S.Sy., M.H.
Hakim Pengadilan Agama Soreang Kelas 1B,
Alumnus S-2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
وَلَوْ قَامَ النَّاسُ بِمَا وَجَبَ عَلَيْهِمْ # لَكَانُوْا—وَهُمْ فِى الْأَرْضِ—فِى جَنَّةِ الْخُلْدِ
(اَلشَّيْخُ مُصْطَفَى الْغَلَايَيْنِي فِى عِظَةِ النَّاشِئِيْنَ)
“Dan seandainya manusia melakukan apa yang menjadi kewajibannya maka niscaya mereka—di dunia ini—berada dalam surga yang abadi.”
(Syeikh Mushthafa al-Ghalāyainiy dalam Kitab ‘Idhati an-Nāsyi-īn)
Tamu undangan sudah ramai berdatangan. Disambut gerimis hujan saya—bersama seorang teman—sampai lokasi tujuan. Acara sudah dimulai meskipun baru “pembukaan”. Saat itu, Surat al-Wāqi’ah bagian akhir sedang bersama-sama dilantunkan. Saya saksikan calon pengantin pria duduk manis penuh kegembiraan. Iya, tidak lama lagi dia dan “si dia” akan sah menjadi suami-isteri. Sepasang kekasih yang memadu rindu dan cinta dalam ridha-Nya.
Akad nikah berjalan dengan lancar. Ijab qabul dilafalkan dalam bahasa Arab. Pengantin pria menjawab ijab dengan fasih dan lantang. Sejurus dengan itu hadirin mengucapkan kata “sah”. Saya yang ditugasi menjadi juru foto tepat berada di samping kanan pengantin pria. Bersyukur, saya menjadi orang pertama yang mengucapkan “selamat”. Pengantin pria, selain kakak tingkat juga sahabat dekat saya. “Barakallāhu laka, Mas...”
Bagi saya, menghadiri pernikahan ibarat sedang bernostalgia. Sebab, sebelumnya saya pernah melewati momen indah sebagaimana yang dirasakan sahabat saya itu. Momen indah tersebut semestinya tidak terhenti ketika resepsi usai. Momen indah itu harus senantiasa dijaga, dipupuk, dan dilestarikan sampai ajal memisahkan. Dalam rangka menuju arah tersebut, sang pengantin harus memiliki resep khusus.
[1]Tulisan ini sebelumnya terbit di Buletin Jumat al-Rasikh Universitas Islam Indonesia pada Maret 2015.
Selengkapnya KLIK DISINI